Selasa, 23 Juni 2009

Kerjasama Ekonomi Asia dan Posisi Indonesia

Jika membicarakan mengenai perdagangan bebas (Free Trade Area) yang regional atau bilateral, dimanakah posisi Indonesia saat ini. Lihatlah sikap pemerintah RI yang mendua, di satu pihak Presiden sibuk sekali meningkatkan profil internasionalnya dan menyatakan ingin bekerja sama dengan semua negara tetanggga, dilain pihak Indonesia juga terkenal dengan sikapnya yang sangat proteksionis dan nasionalistik. Jika kita melihat negara kecil seperti Singapura dan Taiwan mereka amat berhasil dalam meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dengan berdagang seluas-luasnya dengan dunia internasional.
Indonesia sejak zaman Suharto di pertengahan dasawarsa delapanpuluhan sudah melakukan deregulasi dan liberalisasi, dan dalam politiknya juga langsung menguntungkan ekspor dan laju pertumbuhan ekonomi. Selama tiga dasawarsa laju pertumbuhan PDB mencapai sekitar 7% setahun dan ekspornya tumbuh lebih dari 10% setahun. Perbedaan kinerja dengan Cina memang susah untuk dicari keterangan yang jelas. Akan tetapi kualitas SDM Cina memang lebih tinggi dan kualitas kebijaksanaan pemerintah di Beijing juga lebih baik daripada Jakarta (diakhir zaman Suharto kebijakan ekonomi Jakarta terlalu dipengaruhi oleh keluarga dan kroni yang memegang banyak monopoli).
Mengapa Indonesia bersikap ambivalen atau mendua. Karena di satu pihak, takut bahwa pasar dalam negeri akan dicaplok oleh asing, tetapi di lain pihak, juga sadar bahwa kalau tidak ikut mode FTA ini maka Indonesia bisa ”ketinggalan”. Salah satu gejala ketinggalan ini adalah dampak Trade Diversion. Artinya, kalau antara Malaysia dan Thailand di satu pihak dan Jepang di pihak lain ada FTA maka impor Jepang akan lebih dari kedua negara itu dan yang dirugikan adalah potensi ekspor dari Indonesia ke Jepang. Maka akhirnya Indonesia juga membuka perundingan bilateral untuk mencapai suatu FTA. Proses perundingan ini mengandung ”give and take”. Kalau Indonesia mengingini suatu konsesi atau fasilitas maka Indonesia juga harus bersedia menawarkan suatu konsesi (secara quid pro quo). Maka perundingan demikian berangsur-angsur membuka Indonesia untuk perdagangan yang lebih bebas. Bagi pemerintah RI, hasil perundingan demikian, termasuk konsesi yang harus diberikan oleh Indonesia, juga bisa dipakai untuk membela kebijakan pemerintah terhadap kritik-kritik dalam negeri yang bisa menuduh pemerintah ”menjual diri kepada pengaruh asing”. Indonesia juga menekankan economic partnership, misalnya dengan jepang, bukan semata-mata mengatur perdagangan. Dalam kemitraan ekonomi yang komprehensif termasuk juga pengaturan bantuan (economic aid) dan investasi untuk pelimpahan teknologi. Karena perjanjian multilateral (WTO) lebih superior daripada FTA bilateral atau regional, maka pemerintah Indonesia sebaiknya tetap berkiblat kepada pengaturan multilateral walaupun merundingkan FTA bilateral. Selekas ada kesempatan maka FTA bilateral harus dikaitkan kepada FTA regional dan ini disesuaikan dengan WTO.
Karena alasan politik praktis serta juga ideologis maka pemerintah RI sejak zaman Suharto sudah memilih mekanisme pasar terbuka dengan membuka diri terhadap perdagangan internasional dan tidak menolak arus globalisasi. Politik alternatif adalah dengan menjalankan nasionalisme ekonomi yang menutup diri, atau politik ideologis yang sosialis-marxis yang menolak ekonomi dunia karena dikuasai oleh kapitalisme-imperialisme. Kedua aliran pandangan ini juga ada penganutnya di Indonesia, atau khususnya di Jakarta. Akan tetapi, seperti pemerintah di India, maka di Indonesia pun pemerintah harus selalu melakukan balancing act agar pengaruh jelek dari ekonomi pasar (yakni kesenjangan antara yang berhasil di pasar dan yang gagal) bisa dilunakkan dengan berbagai kebijakan langsung mengurangi kemiskinan dan penganguran. Tugas pemerintah yang demikian memerlukan kemampuan pemerintah dalam ukuran APBN yang besar. Di masa sekarang pemerintah tidak punya kekuatan ini karena APBN terlalu dibebani oleh angsuran pembayaran utang dan subsidi (terutama untuk BBM) yang sangat besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar